Indonesia Mengalami Degradasi Calon Pemimpin dan Konstitusi, Begini Kata Dr. Suriyanto Pd,SH,MH, M.Kn

Jika Gibran yang masih menjadi kader PDIP maju jadi cawapres Prabowo, dan ayahnya juga masih menjadi kader utama PDIP ini artinya ada penghianatan terhadap partainya sendiri lantas bagaimana kedepan nya bila jadi seorang pemimpin ?? Mari sama-sama kita menjawab nya.

Seperti contoh yang terjadi pada Gubernur Maluku Murad Ismail yang merupakan kader PDIP, karena istrinya masuk di partai lain dengan tegas gubernur maluku itu dikeluarkan dari partainya.

Gibran mengeluarkan janji tegak lurus kepada Ibu Megawati, ketua PDIP, namun tindakan ini segera disusul dengan kejutan yang mencengangkan. Hanya sehari setelahnya, Gibran menerima tawaran untuk menjadi calon wakil presiden dari partai lain, yaitu Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.

Situasi ini menggambarkan ketidak konsistensi yang mencolok dalam karir politik Gibran. Di satu sisi, dia menerima tugas khusus dari Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, untuk mendukung Ganjar-Mahfud MD, tetapi di sisi lain, dia dengan cepat berpaling dan menerima tawaran dari Prabowo.

Kita sebagai bangsa dan sebagai kaum cerdik pandai hendaknya tidak membenarkan suatu yang tidak benar, jangan kita mengedepankan pembenaran dari pada kebenaran untuk kita sama-sama dapat memperjuangkan Bangsa Indonesia ini lebih baik dan terbebas dari hutang ribuan triliun juga korupsi yang gila gilan saat ini, maka di butuhkan pemimpin yang komitmen baik, mumpuni di bidang umum dan bidang khusus dan yang penting tidak memiliki rekam jejak dinasti dan penghianatan.

Indonesia perlu mempertimbangkan kembali nilai-nilai integritas, konsistensi, dan kejujuran dalam politik. Politik yang sehat memerlukan pemimpin yang dapat dipercaya dan memiliki prinsip yang kokoh, bukan pemimpin yang menjadikan politik sebagai alat untuk kepentingan pribadi atau keluarga.

Dengan demikian, kita dapat memastikan masa depan politik Indonesia yang lebih baik, yang didasarkan pada integritas dan konsistensi, bukan sekadar tindakan dramatis dan pranks yang merugikan.


Sumber : Pakar Hukum, Akademisi tinggal di Jakarta

Pos terkait