PH BKZ Ungkap Kejanggalan Kejari Payakumbuh dan Kriminalisasi Hukum Terhadap Kliennya

GAYABEKASI.ID | PADANG, SUMBAR — Usai sidang lanjutan kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kota Payakumbuh, Kuasa Hukum/Pendamping Hukum BKZ beberkan beberapa poin kejanggalan Kejaksaan Negeri Payakumbuh dan Kriminalisasi Hukum terhadap kliennya, Senin (30/05/2022).

Zamri, SH mengatakan setidaknya ada empat poin kejanggalan dan kriminalisasi hukum terhadap kliennya, pertama menurut zamri Perkara ini sejak penyidikan sudah penuh kejanggalan karena kejari payakumbuh langsung hanya menetapkan dr Bakhrizal sebagai terdakwa tunggal.

Bacaan Lainnya

“Enam terdakwa lain yang baru-baru ini ditetapkan setelah keluarga terdakwa mengadu kepada Kejaksaan Agung terkait banyaknya dugaan kejanggalan dan ketidak profesionalan kejari payakumbuh dalam menetapkan dr Bakhrizal sebagai tersangka yang kini diadili di Pengadilan Tipikor Padang Sumbar,” ungkap Zamri, SH didampingi M. Nurhuda

Kemudian Zamri juga mengatakan Sebagai penasehat hukum terdakwa Bakhrizal, kami perlu memberitahu masyarakat sumatera barat umumnya dan masyarakat Payakumbuh khususnya bagaimana anatomi perkara ini:

A. Secara sederhana kasus yang kemudian diperkarakan kejari payakumbuh ini terjadi diawali kebutuhan mendesak APD saat covid melonjak di payakumbuh. Satgas Covid yang terdiri dari Walikota, Kajari, Kapolres, Dandim dan Danyon kemudian memutuskan untuk membeli APD bagi nakes. Pada titik ini kegiatan ini bisa disebut sebagai kegiatan satgas. Dinas Kesehatan Payakumbuh kemudian melaksanakan kegiatan satgas dengan melakukan pengadaan.

B. Produsen APD yang direkomendasikan walikota Payakumbuh (bahasa rekomendasi seorang walikota ke bawahan sama dengan perintah) adalah Bunda Puteri. Walikota Payakumbuh sendiri saat bersaksi di persidangan sudah mengakui dirinya yang merekomendasikan Bunda Putri dan mengakui berteman dengan Bunda Putri. Pemesanan APD kemudian dilakukan kepada Bunda Puteri.

C. PPK Dinas kesehatan (seorang kabid dinkes payakumbuh) dan PPK RSUD (Direktur RSUD) kemudian melakukan pengadaan dengan meminjam nama perusahaan untuk memudahkan administrasi. Saat proses administrasi pengadaan tersebut belum selesai, barang yang dikirim Bunda Putri sudah sampai di Padang dan Bunda Puteri mendesak pembayaran atas APD miliknya. Karena desakan pembayaran, walikota memerintahkan PDAM menalangi pembayaran APD yang dikirim Bunda Puteri sebesar Rp 245 juta. PDAM lalu mengirimkan dana ke rekening Eha Julaeha, atas nama perusahaan yang namanya dipinjam dalam pengadaan yang masih proses tersebut. Dalam sidang terungkap jelas rekening pengirim dan rekening penerima.

Pos terkait