Putusan MK Nomor 90 Merusak Demokrasi, Begini Menurut Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn

GAYABEKASI.ID || JAKARTA — Menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres, publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial. Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikabulkan oleh MK pada Senin (16/10).

Putusan tersebut menyebutkan, capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
Menurut ketentuan, keputusan MK tersebut bersifat final dan mengikat. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final.

Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.
Bahwa putusan MK itu tidak dapat diubah karena sifatnya yang final dan mengikat. Artinya, terhadap putusan MK tidak bisa diajukan upaya hukum.

Frasa “putusannya bersifat final” menegaskan bahwa sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan. Sebab, proses peradilan MK merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir. Dengan kata lain, setelah mendapat putusan, tidak ada lagi forum peradilan yang dapat ditempuh.
Ini bertentangan dengan proses hukum dan kewenangan Mk yang melanggar hukum, karena MK tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma baru.

Pos terkait