Pemimpin yang Benar Harus Lahir dari Proses yang Benar, Tidak Menciderai Konstitusi

GAYABEKASI.ID || JAKARTA — Ketika Kaesang Pangarep secara cepat diangkat menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan sebelumnya putra dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) masing-masing menjadi Wali Kota Solo dan Wali Kota Medan, dan terakhir Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres Prabowo Subianto dengan bermodal keputusan MK Nomor 90 yang dinilai cacat hukum, maka ada komentar tentang ”politik dinasti Jokowi”.

Praktik KKN di Indonesia bukan lagi sebuah fenomena, bahkan sudah merupakan fakta. Setelah runtuhnya orde baru, besar harapan rakyat bahwa fenomena ini akan berakhir sebagaimana berakhirnya Orde Baru tersebut.

Tetapi nyatanya tidak, justru malah tumbuh subur dan semakin parah, dan fenomena ini sudah mengakar dari hulu sampai hilir, sudah membudaya dari pusat hingga daerah.

Menurut sejumlah pakar dan tokoh nasional, KKN akhir-akhir ini dianggap sebagai wujud yang paling ganas dari gejala kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara di negeri kita.
KKN imenjadi produk dari relasi sosial politik dan ekonomi yang pincang dan tidak manusiawi.

Relasi yang dikembangkan adalah relasi yang diskriminatif, alienatif, tidak terbuka dan melecehkan kemanusiaan, seperti halnya lahir Putusan MK no 90, yang memberi karpet merah Gibran untuk melenggang di bursa cawapres di Pilpres 2024.

Kekuasaan dianggap sebagai sebuah privilege bagi kelompok (kecil)tertentu, serta bersifat tertutup dan menempatkan semua bagian yang lain sebagai objek-objek yang tak punya akses untuk berpartisipasi.

Setiap bentuk kekuasaan (baik politik, sosial, maupun ekonomi) yang tertutup akan menciptakan hukum-hukumnya sendiri demi melayani kepentingan penguasa yang eksklusif. Lolosnya Gibran melenggang ke bursa cawapres, ditengarai sebagai bentuk nepotisme.

Pos terkait